Sejarah Gereja

Terbentuknya Jemaat Denpasar

Persekutuan diantara orang-orang Kristen yang berada di Denpasar, rupanya telah terjadi sebelum terbentuknya Jemaat Denpasar. Pada bulan Agustus 1952, RP bersurat kepada Ds. Henk J. Visch di Winasen, Holland untuk datang kembali ke Indonesia (Bali) karena RP akan membuka kembali Sekolah Guru Injil di “Pesraman” Penyobekan Denpasar pada tahun 1953. Surat RP di atas dibalas oleh zending di Belanda dengan surat bernomor 119 tanggal 15 Januari 1953 yang menyatakan bahwa Sekolah tersebut baru akan dapat dimulai bulan Juli 1953.

Para peserta yang mengikuti Sekolah Guru Injil periode 1953-1954 di “Pesraman” Penyobekan ini dengan tujuan untuk meningkatkan status menjadi Pendeta. Tercatat sebelas murid : Gede Sadra, I Gusti Bagus Diksa, Gusti Putu Reka, Ketut Daniel, Made Repag, Wayan Raneng, Made Riwih, Ketut Subamia, Wayan Mendeg, Gusti Putu Puger dan Gusti Putu Tantri. Pengajarnya hanya tiga orang: Ds. Henk J. Visch, Pdt. Made Ayub dan Pdt. Fanggi dari GPIB (sebelum tahun 1948 bernama “Indische Kerk”).

Peserta Kursus SGI
Para Peserta Kursus SGI 1953-1954
Pembukaan Sekolah Guru Injil
Pembukaan Sekolah Guru Injil di “Pesraman” (halaman rumah Keluarga Ds. Henk J. Visch) di Penyobekan pada tahun 1953

Dalam pelayanan RP tahun 1954, telah dilakukan upacara penahbisan ke dalam jabatan Pendeta dan Guru Injil yang dilaksanakan di Untal-Untal pada hari Rabu tanggal 18 Agustus 1954 kepada :

1 Wayan Rasih Tamayasa kedalam jabatan Pendeta
(Lulus Sekolah Theologia “Balewiyata” tahun 1954 – angkatan ke 9)
2 Gede Sadra kedalam jabatan Pendeta
3 I Gusti Bagus Diksa kedalam jabatan Pendeta
4 Gusti Putu Reka kedalam jabatan Pendeta
5 Ketut Daniel kedalam jabatan Pendeta
6 Made Repag kedalam jabatan Pendeta
7 Wayan Raneng kedalam jabatan Guru Injil
8 Made Riwih kedalam jabatan Guru Injil
9 Ketut Subamia kedalam jabatan Guru Injil
10 Wayan Mendeg kedalam jabatan Guru Injil
11 Gusti Putu Puger kedalam jabatan Guru Injil
12 Gusti Putu Tantri kedalam jabatan Guru Injil

 (Daftar nama-nama di atas dan tanggal penahbisan diperoleh dari surat Raad Pasikian GKPB, alamat Untal-Untal, tanpa nomor dan tanggal, ditandatangani oleh Penulis Ketut Daniel yang ditujukan kepada Raad Pasamuan Bongan – Mengenai Jabatan Gerejawi yang diterima oleh tiap-tiap orang tsb di atas diperoleh dari informasi Pdt. Gusti Putu Puger, Bongan, 22 Maret 1996) – Penulis mendapat kejelasan ini secara tertulis oleh Pdt. Tjatra Puspitha, D.Th dalam tulisan berjudul:“Perjalanan GKPB sampai dengan Sinode ke 41”,2011.

Setelah H.J. Visch dan keluarga datang kembali ke Indonesia (Bali) dan melayani di GKPB mulai bulan Juni 1953. Mereka tinggal di rumah zending (“zending huis”) di Penyobekan (sekarang jalan Debes no. 6) .

Rumah keluarga Visch di Mengwi
Rumah keluarga Visch di Mengwi (1949 – 1950) sebelum pulang kembali ke Belanda September 1950
Rumah keluarga Visch di Penyobekan
Rumah keluarga Visch di Penyobekan sesudah kedatangannya dari Belanda bulan Juni 1953

Ketika sarana Sekolah Guru Injil “pesraman” di Penyobekan ini pertama kali didirikan (1937/1938) maka diarea lokasi ini juga dibangun tempat asrama dan rumah zending dimana Ds. Th. B.W.G. Gramberg bersama istri tinggal di “zending huis” ini. Mas Miarso Dermoredjo mantri juru rawat yang ditugaskan oleh Rumah Sakit Zending (zending ziekenhuis) Malang, datang di Bali (sekitar April/Mei 1938) pernah tinggal selama tiga bulan di asrama Penyobekan ini, sebelum ia mendapatkan rumah dan tempat kerjanya.

Setelah berakhirnya Kursus pendidikan Guru Injil periode 1953-1954 di Pesraman ini, maka pada awal tahun 1955 ruang untuk belajar ini digunakan sebagai ruang belajar untuk anak-anak Sekolah Menengah Pertama Kristen (SMPK).

A.A. Njoman Pandji Tisna
A.A. Njoman Pandji Tisna, Kepala Pemerintahan kerajaan Buleleng
Vroeger ”Zelfbestuur” van het landschap Buleleng

Oleh Anak Agung Njoman Pandji Tisna (alm), beliau menyumbangkan sebuah nama “Widhya Pura” untuk SMPK ini, yang artinya tempat untuk mengejar pengetahuan. SMPK ini hanya setahun menempati ruang untuk belajar ini karena pada tahun berikutnya 1956, SMPK “Widhya Pura” telah memiliki tempat dan bangunan permanen di Sesetan. Ruangan yang ditinggalkan ini kemudian dirubah menjadi tempat untuk ibadah (kebaktian) dengan jumlah jemaat beberapa orang saja.

Pada waktu itu kebaktian-kebaktian dilayani secara bergantian baik oleh Ds. H.J. Visch, Pdt. Wayan Tamayasa (Ketua Sinode GKPB 1955-1961), Pdt. Ketut Daniel (Sekretaris Sinode GKPB 1952-1966), maupun oleh Pdt. Ketoet Soewetja (Pendeta Wilayah Badung ketika itu).

Di tahun 1956. Sewaktu Pdt. Ketoet Soewetja menjabat sebagai pendeta wilayah Badung, beliau minta kepada Pdt. Ketut Daniel agar membentuk Jemaat Denpasar 5. Pada waktu itu Pdt. Ketut Daniel melayani Pesamoean Untal-untal (sejak 1 Juli 1947) atas permintaan Mas Sastrodimedjo, yakni sekembalinya Pdt. K. Daniel dari Makassar.

Pembentukan GKPB Jemaat Denpasar, diupayakan oleh Pdt. K. Daniel ketika tinggal di Untal-Untal. Selain melayani Jemaat Untal-Untal, juga sebagai Sekretaris Sinode GKPB yang ditekuninya sejak tahun 1952 dari hasil keputusan Sidang keenam di Padang Tawang, beliau juga membantu mengurus Kolportase. Dalam proses pembentukan Jemaat Denpasar ini diakuinya sungguh berat. Beliau melayani dengan mengadakan kunjungan bersama anak dan istri dengan mengendarai dokar. Proses awalnya mengadakan kunjungan ke keluarga-keluarga untuk dimintai pendapatnya atas rencana pembentukan Jemaat Denpasar ini. Keluarga yang dikunjungi adalah Keluarga I Wayan Tegeg; I Wayan Gerendeng; I Nengah Swatra; I Nyoman Pinia; dan Keluarga Susetya Reksosiswoyo.

Mereka semua menyarankan agar mengadakan pendekatan dahulu kepada Gusti Kompyang Tabing (I Gusti Kompyang Sumada), yang lainnya tentu akan mudah saja. Ternyata recana Pdt. K Daniel ini sangat direspon oleh I Gusti Kompyang Tabing, bahkan meminta agar diadakan rapat dan pembentukan pengurus. Gusti Kompyang menawarkan rumahnya di jalan Bali-Sanglah untuk menjadi tempat pertemuan pertama dan sekaligus membentuk Pengurus, yang akhirnya pada waktu itu terpilih sebagai anggota pengurus adalah : I Gusti Kompyang Tabing, I Wayan Gerendeng dan I Nyoman Pinia.

Siapakah sebenarnya I Gusti Kompyang Tabing ini ? Hingga menjadi orang yang berpribadi keras dan sepertinya penentu dari teman-teman yang lain. Penulis memperoleh penjelasan dari I Gusti Putu Mas Arya Putra (Maret 2013), salah satu putra Gusti Kompyang Tabing. Demikian penuturannya:

I Gusti Kompyang Sumada
I Gusti Kompyang Sumada dan istrinya R. Pangestu Nikodemus

I Gusti Kompyang Tabing adalah anak tunggal dari keluarga I Goesti Made Tabeng dan Ni Ketoet Soekerti yang tinggal di Desa Buduk. Sebagai Pekaseh (Kelian Subak) keluarga ini cukup terpandang dan kaya. Ketika masih kecil Gusti Kompyang telah ditinggal oleh ayahnya. Ketika Goesti Made Tabeng, ayahnya meninggal warisan yang ditinggalkannya cukup banyak dan Gusti Kompyang adalah pewaris tunggal karena dia adalah anak satu-satunya. Sepeninggal ayahnya itu, Gusti Kompyang masih berumur sekitar 8 tahun, hidup teraniaya. Kadang tidak diberi makan dan disuruh angon sapi, oleh keluarga besar ayahnya. Ketika haus Gusti Kompyang juga sering meminum air sawah. Karena dia merupa-kan satu-satunya ahli waris keluarga kaya, itulah sebabnya ia selalu  dianiaya untuk dibunuh.

Hal ini diketahui oleh I Made Gepek (pan Loting). Ketika, Gusti Kompyang lagi berada di sawah angon sapi datanglah Made Gepek menawarkan untuk sekolah kepadanya : “Apakah Gusti Kompyang mau bersekolah menemani Batjol di Mojowarno?” Karena masih kecil, Gusti Kompyang langsung mengiyakan. Saat itu juga ia langsung dibawa oleh pan Loting. Pan Loting memang punya program untuk menyekolahkan Batjol dan satu temannya lagi ke Mojowarno. Akhirnya Gusti Kompyang Tabing dan Batjol diantar ke Mojowarno untuk bersekolah disana. Ternyata Gusti Kompyang berhasil justru Batjol pulang kembali ke Bali karena tidak tahan dan gagal.

Demikianlah Gusti Kompyang Tabing tinggal diperantauan (Mojowarno) hingga dewasa dan mendapatkan jodohnya di Mojowarno, R Pangestu Nikodemus seorang gadis Jawa yang cukup terpandang dan dihormati. Di Gereja Jemaat Mojowarno inilah mereka diteguhkan dan diberkati pernikahannya. Dizaman revolusi Gusti Kompyang juga ikut berperang sampai di Sumatra dan Kalimantan (sehingga Gusti Kompyang juga memiliki surat keputusan sebagai Veteran RI). Anak pertamanya Gusti Putu Suwetja Sumada lahir di Mojowarno, sedang anak keduanya Gusti Made Yudhaninghari lahir di Kalimantan ketika terjadi peperangan. Waktu itu Gusti Kompyang bersama istri yang lagi hamil tua, lari membawa Gusti Putu Suwetja yang baru berumur tiga tahun ke tempat perlindungan karena di kejar-kejar tentara NICA. Ditempat perlindungan inilah anak keduanya lahir. Namun situasi perang waktu itu dan kekurangan persediaan air sehingga anak kedua ini terserang tetanus dan meninggal, dimakamkan disana. Gusti Kompyang dan keluarga akhirnya pulang kembali ke Bali tetapi tidak langsung ke Buduk dan sempat tinggal di Blayu sebelum kembali ke Buduk. Terakhir keluarga ini tinggal menetap di Denpasar. Tahun 1954 keluarga ini tinggal di jalan Bali Sanglah sebelumnya tinggal di daerah Balun. Rupanya latar belakang dari kehidupan yang dialami dan dilakoni oleh Gusti Kompyang Tabing seperti ini telah membuatnya memiliki karakter pribadi yang cukup keras.

Di akhir tahun 1958 Pdt. K Daniel dengan keluarga pindah ke Denpasar di banjar Penyobekan, setelah lahirnya putri kelima. Karena sebagai Sekretaris Sinode GKPB beliau harus bekerja penuh waktu (full time). Waktu itu Pdt. Wayan Tamayasa sebagai Ketua Sinode (1955-1961) Gereja Kristen Protestan Bali. Dalam Sidang (Sinode) ketigabelas tahun 1959 telah diputuskan bahwa Kantor Sinode yang tadinya menumpang di rumah Pdt. K Daniel (Sekretaris) di Untal-Untal, ditetapkan di kompleks Penyobekan dan dilengkapi dengan staf pegawai dan perlengkapan lainnya. Untuk Ketua dan Sekretaris Sinode disediakan perumahan dikompleks Penyobekan ini juga.

Pada tahun 1959 dikompleks Penyobekan, di tempat yang dahulunya sebagai ruang belajar Guru Injil ini disiapkan menjadi sebuah Gereja untuk Jemaat Denpasar dengan fisik bangunan yang sangat sederhana. Sehingga di kompleks Penyobekan ini terdapat selain gereja Penyobekan (Jemaat Denpasar) juga Kantor Sinode GKPB. Pada tahun 1960 bulan Februari Pdt. K Daniel beserta keluarga pulang kembali ke Untal-Untal karena telah dilakukan perubahan pengurus. Pdt. K Daniel ditugaskan melayani di Untal-Untal, Denpasar, dan Legian. Pada tahun 1961 dalam Sinode kelimabelas di SMPK Sesetan Pdt. K Daniel terpilih lagi menjadi Sekretaris Sinode sehingga tempat tinggalnya pindah lagi ke Denpasar.

Menyimak kronologis di hlm. 63 buku ini, bahwa setelah program pendidikan SGl di “pesraman” Penyobekan periode 1953-1954 selesai. Maka tempat itu lalu digunakan untuk ruang belajar SMPK “Widhya Pura” kelas I selama satu tahun yakni pada tahun 1955. Kemudian tahun 1956 setelah itu ruang tersebut mulai digunakan untuk tempat ibadah dengan jumlah jemaat yang beberapa orang saja (jemaat inilah yang menjadi cikal bakal dari Jemaat Denpasar). Dengan mulai adanya persekutuan ibadah ini maka ditahun itu juga (1956) Pdt. Ketoet Soewetja minta kepada Pdt. Ketut Daniel agar membentuk Jemaat Denpasar.

Lalu mengapa pada tanggal 7 Juni 2008, Jemaat Kristus Kasih memperingati Hari Ulang Tahunnya ke 53 ? Peristiwa peringatan ini barulah yang pertama kali diadakan, sebelumnya belum pernah ada. Dari peristiwa tsb. dapat diartikan bahwa gereja lahir pada tanggal 7 Juni tahun 1955. Kesepakatan beberapa Majelis Jemaat ketika itu untuk menetapkan 7 Juni 1955 sebagai hari kelahiran gereja “Jemaat Denpasar” mempunyai dasar dan alasan juga.

I Gusti Putu Mas Arya Putra memiliki piagam penghargaan yang diberikan untuk ayahnya yang dikeluarkan GKPB Jema’at – Denpasar. Tertulis dalam Piagam Penghargaan itu, “diberikan kepada Kel. I Gst. Kompyang Sumada sebagai Werdatama Jemaat Denpasar, dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ke XXVI 1955-1981. Denpasar, 7 Juni 1981 Majelis Jema’at Denpasar ditanda tangani oleh Djito Susiloatmodjo – Sekretaris”.

Gusti Putu Mas meyakini bahwa tanggal 7 Juni itu adalah hari ulang tahun ayahnya yang lahir pada tahun 1921. Tanggal kelahiran ini diperoleh dari penjelasan ibunya R. Pangestu Nikodemus yang lahir tgl. 20 Februari 1919 dan meninggal dalam usia 70 tahun. Menurut “perkiraan” Gusti Putu Mas, bahwa hari Kamis tanggal 7 Juni 1955 itu dipilih oleh keluarga Gusti Kompyang untuk pertemuan pertama yang sekaligus pembentukan Pengurus di rumahnya jalan Bali – Sanglah tepat di momen ulang tahun ayahnya. Satu pertanyaan mengapa dalam piagam penghargaan itu ditulis “memperingati Hari Ulang Tahun ke XXVI 1955-1981”? Mana yang benar tentang tahun berdirinya Gereja Penyobekan. Apakah data surat Piagam Penghargaan yang menyebutkan tahun 1955 dengan tanggal 7 Juni seperti kejadian yang di”perkirakan” oleh Gusti Putu Mas. Ataukah data tertulis Pendeta Ketut Daniel (alm) sang pelaku sejarah, dalam buku Otobiografinya yang menyebut tahun 1956 dimulai kebaktian jemaat tanpa menyebut tanggal dan bulan dimana ruangan SGI di Penyobekan ini (“pesraman”) digunakan menjadi tempat untuk beribadah.

Belum ada Tim peneliti untuk sejarah lahirnya Gereja Penyobekan atau yang dikenal dengan nama “Jemaat Denpasar”. Oleh karenanya dalam buku “Dinamika GKPB Dalam Perjalanan Sejarah” yang diterbitkan awal Juni 2012, tentang Jemaat-Jemaat GKPB dan Tahun berdirinya (data 2010). “Jemaat Denpasar” * diberi tanda bintang yang menunjukkan belum diketahui kepastian tahun berdirinya. (hlm. xxiv)

Sebuah buku yang ditulis oleh Henk Visch dengan judul “Pelter – Brieven van Henk Visch en Cor Tonsbeek uit Bali, 1948 – 1971” mungkin dapat menolong menemukan kapan lahirnya Gereja Penyobekan dan perjalanan sejarah gereja “Jemaat Denpasar”.