Proses Pembangunan Gedung Gereja
Pada tahun 1974 Jemaat Denpasar membentuk panitia pembangunan gereja. Panitia ini dipimpin oleh Mayor Sumardidjo (Ketua), I Wayan K. Sutharsa (Sekretaris), dr. I Gusti Ngr Soetapa (Bendahara) dan didampingi oleh empat orang anggota, dr. Jonathan Mulia, I Nyoman Pinia, John Ketut Pantja, dan Susetya Reksasiswaya.
Pembangunan dimulai secara bertahap, tahap awal dari fondasi dan kemudian tiang-tiang/pilar-pilar. Pada tahapan awal pembangunan tersebut, telah menghabiskan dana dua juta rupiah, satu setengah juta darinya merupakan persembahan dari tiga orang jemaat yakni dr. Ngr. Soetapa, dr. Jonathan Mulia dan John Ketut Pantja, masing-masing sebanyak lima ratus ribu rupiah. I Nyoman Pinia sebagai anggota panitia pembangunan juga, adalah yang melaksanakan pekerjaan ini, agar dapat menghemat biaya pekerja/ tukang karena sesuai janjinya upah tenaga kerja akan dibayar dengan uang sendiri sebagai bentuk persembahan kepada gereja.
Selembar surat Panitia Pembangunan, tertanggal 12 Juni 1975, yang diketahui oleh Bendahara MSH-GKPB Pdt. I Gst Putu Wikandra a.n Majelis Sinode Harian GKPB telah diterbitkan. Isi surat panitia sebagai himbauan kepada warga anggota jemaat untuk memberikan sumbangan berupa apapun, untuk bersama membangun sebuah Rumah Suci untuk Tuhan. Gedung gereja yang dibangun ini dimulai hanya dengan modal iman. Luar biasa semua dalam rencana dan berkat-Nya. Gereja yang dibangun dengan kebersamaan jemaat ini ditahbiskan pada tanggal 17 Mei 1977, dihadiri oleh pejabat tinggi daerah Bupati Badung dan Perwakilan Gubernur Bali.
Rencana Desain Konteks Arsitektur dan Filosofi Bali
Dalam merencanakan gedung gereja ini, dua anggota panitia pembangunan (dr. I Gusti Ngr Soetapa dan John Ketut Pantja) berinisiatif mencari tenaga Insinyur yang dapat diajak bekerjasama untuk merencanakan desain gedung gereja ini. John Ketut Pantja mempunyai kawan bisnis, seorang Hindu Bali, Gede Darmawan dia seorang bankir memiliki perusahaan Kontraktor pt. Kresna Karya, dan pengusaha restauran. Dari kawannya ini John Pantja memperoleh desain bangunan secara gratis. Desain tersebut direncanakan oleh seorang Arsitek langganan Gede Darmawan yang juga mendesain bangunan restaurannya di Kintamani. Kemudian dr. Ngr Soetapa juga memperoleh desain gratis dari Ir. I Made Kertiayasa (alm), yang pada waktu itu menjabat Kepala Proyek Pembangunan Hotel Werda Pura-Sanur, seorang Hindu Bali, pegawai Dinas Pekerjaan Umum Sub Dinas Cipta Karya Provinsi Bali dan juga dosen Fakultas Teknik Universitas Udayana. Kedua gambar desain bangunan ini dibawa kemeja sidang untuk mencari yang terbaik sesuai dengan keinginan warga Jemaat Denpasar. Setelah dilakukan pemungutan suara, warga Jemaat memilih desain karya Made Kertiyasa yang memiliki bentuk atap bersusun tiga, yang menggambarkan ke-tri tunggalan Allah. Yaitu Allah Bapa pemelihara, Yesus Kristus Penebus dan Roh Kudus penghibur.
Unsur-Unsur Filosofi Bali dalam Gedung Gereja
Gereja ini dibangun dengan mengacu pada makna simbolis gunung berapi. Bagi orang Bali, gunung berapi mempunyai arti yang sangat dalam dan istimewa, dijadikan lambang kehidupan. Gunung adalah tempat air, udara bersih, dan api. Berdasarkan filosofi ini, maka gereja ini dibangun dengan bentuk sebuah gunung, yang diwujudkan sesuai dengan konsep Kristen. Umat Kristen menyembah Tuhan Allah sebagai sumber kehidupan. Allah, pencipta, pemelihara, dan pengatur hidup manusia. Dalam bangunan ini tampak secara nyata ketiga unsur sebagai sumber kehidupan yang disediakan Allah, dengan kolam didepan gereja sebagai simbol air, udara dengan sirkulasi bebas tanpa terhalang oleh tembok yang rapat sehingga udara bersih mengalir terus menerus kedalam ruangan gereja, dan simbol api diwujudkan dari panas sinar matahari yang langsung menembus kedalam gereja melalui kaca datar diatap bangunan.
Nama Kristus Kasih. Kemudian divisualisasikan dengan cerita Tuhan Yesus ketika memberkati anak-anak yang diambil dari Injil Tuhan Yesus: Mat. 19:13-16; Mrk. 10:13-16 dan Luk. 18:15-17. Gambaran Tuhan Yesus yang merangkul anak-anak dipangkuan-Nya dan memberkatinya menginspirasi gereja ini dibangun dengan tiga bentuk gunung. Satu gunung besar yang menjadi sentral dan dua gunung kecil ibarat kedua anak dipangkuan. Kemudian juga kedua gunung kecil ini merujuk kepada penciptaan Allah yang menjadikan manusia Laki-Laki dan perempuan dan keduanya dikasihi oleh Allah. Filosofi unsur Bali bahwa angka dua juga merupakan lambang rwabhineda atau dua hal yang berbeda tetapi saling memerlukan dan tidak dapat terpisahkan (rwa = dua, bhineda = berlawanan). Misal : pria-wanita, tua-muda, besar-kecil, baik-buruk, kaya-miskin.
Atap dibuat seperti sayap-sayap burung melambangkan Tuhan seperti induk ayam yang memberikan perlindungan, ketentraman di siang hari dan kehangatan di waktu malam hari bagi anak-anak ayam, yaitu anak-anak Allah. Atap yang meruncing keatas, tetapi terpotong di atasnya sehingga datar dan menggunakan kaca sebagai penutup. Melalui kaca yang datar ini sinar matahari masuk menembus ke dalam gereja. Hal ini memberi simbol bahwa agama dalam pengertian Kristen bukanlah jalan mencari Tuhan tetapi Tuhanlah yang mencari manusia dan juga simbol akan kasih Tuhan.
Undak yang ada dalam bangunan gereja ini dibuat bertingkat tiga juga. Undak yang pertama melewati lantai diatas kolam air (didepan gereja) yang melambangkan bahwa umat datang kehadirat Tuhan melalui air penyucian, yang membersihkan umat dari dosa. Kedua, meningkat ke lantai dalam gedung gereja, ditempat ini semua umat dari berbagai latar belakang disatukan dalam persekutuan menghadap hadirat Tuhan. Ketiga yaitu lantai podium dimana para pelayan ibadah dan alat-alat sakramen yang menghantar pada persekutuan dengan Tuhan Allah ditempatkan. Di atas podium (undak, kalau di gereja katolik disebut altar) di sisi kiri agak kedepan ditempatkan mimbar, sebagai tempat pemberitaan Firman. Di sisi kanan ditempatkan meja tempat air baptisan untuk pelayanan baptisan kudus. Kemudian dibagian tengah agak kebelakang ditempatkan meja perjamuan yang merupakan simbol persekutuan umat Tuhan Allah melalui sakramen perjamuan kudus.
Di belakang podium/undak terdapat bangunan kori bentar (bentuk gunung terbelah), kemudian diantara belahan ini dipasang salib. dr. Ngurah Soetapa menjelaskan pengertiannya bahwa diantara belahan itu digambarkan sebagai “pintu yang sesak” (Mat. 7:13). Dengan kori bentar, salib dan pintu yang sempit ini akan selalu mengingatkan pada setiap jemaat/umat yang bersekutu pada pilihan mengikut Kristus melalui pintu yang sesak dan jalan yang sempit menuju kepada kehidupan. Salib menggambarkan kesengsaraan, penderitaan, kematian dan kebangkitan. Sebagai umat percaya kita diingatkan bahwa mengikut Kristus yang adalah jalan dan kebenaran dan Hidup, kitapun memikul salib artimya menyalibkan kedagingan kita dan menyangkal diri.
Pintu masuk utama, berupa dua daun pintu dengan ukiran “Yesus Kristus membasuh kaki kedua belas murid-Nya”. Ukiran dikerjakan oleh pengukir Nyoman Jumu Mustapa dari Banjar Sakah, Guwang Sukawati-Gianyar. Seorang seniman ukir beragama Hindu, lulus sebagai alumnus “Institut Kesenian Indonesia Jogjakarta”.
Didalam gereja terdapat empat penjuru pintu, mengarah ke arah Barat laut, Timur laut, Barat daya, dan Tenggara. Banyaknya pintu ini memiliki arti bahwa Tuhan Yang Maha Pengasih mengundang jemaatnya dari segala tempat dan penjuru. Hal ini menggambarkan akan Dimensi Kasih Allah.
Tembok dinding aling-aling didepan pintu utama ini memiliki arti rohani bahwa Yang Kudus dipisahkan Tuhan dari yang tidak kudus. Ditembok dinding aling-aling ini terukir Kota Yerusalem Baru, diambil dari kitab Wahyu 22 : 1-5.
Apabila jemaat keluar dari ruang ibadah melalui pintu utama, maka jemaat akan melihat ukiran ini. Di tengah-tengah adalah takhta Allah dan takhta Anak Domba. Dari takhta ini mengalir sungai air kehidupan yang jernih bagaikan kristal (ay. 1). Ini juga bisa sebagai yang sesungguhnya, yang melambangkan Roh Kudus dan hidup, berkat serta kuasa rohani yang dikaruniakan-Nya.
“Di tengah-tengah jalan kota itu, yaitu di seberang-menyeberang sungai itu, ada pohon-pohon kehidupan yang berbuah duabelas kali, tiap-tiap bulan sekali; dan daun pohon-pohon itu dipakai untuk menyembuhkan bangsa-bangsa”. (ay. 2).
Pohon ini menunjuk kepada hidup kekal yang dikaruniakan kepada semua orang yang mendiami kota yang baru itu. Daun-daun yang berkhasiat menyembuhkan itu menggambarkan ketidakhadiran apa pun yang menyebabkan kesakitan jasmani ataupun rohani.
“Mereka akan melihat wajah-Nya” (ay. 4). Ini merupakan tujuan terakhir dari sejarah penebusan. Dibumi yang baru ini, orang kudus akan melihat dan tinggal bersama dengan Yesus, Anak Domba Allah, yang oleh kasih-Nya telah menebus mereka dengan kematian-Nya di kayu salib.
Pada tembok dinding keliling bangunan gereja ini dibagian luar dan dalam dipasang batu paras yang disediakan untuk ukiran khas Bali, namun hingga sekarang ukiran-ukiran tersebut belum sempat dikerjakan. Yang telah selesai dikerjakan hanyalah ukiran yang berada didinding bagian luar depan di kanan dan kiri pintu utama. Dibagian kiri (timur) pintu utama terukir “Perumpamaan Orang Samaria yang murah hati” (Luk. 10:25:37). Dibagian kanan (barat) pintu utama terukir “Perumpamaan tentang anak yang hilang” (Luk. 15:11-32).
Perumpamaan orang Samaria yang murah hati, perumpamaan ini menekankan bahwa dalam iman dan ketaatan yang menyelamat-kan terkandung belas kasihan bagi mereka yang membutuhkan. Panggilan untuk mengasihi Allah adalah panggilan untuk mengasihi orang lain.
Perumpamaan anak yang hilang: “Hilang” dipakai dalam arti terhilang bagi Allah, seperti “domba yang sesat”. Hidup terpisah dari persekutuan Allah adalah kematian rohani. Kembali kepada Allah membawa kehidupan yang sejati (15: 24). Gambaran Yesus mengenai tanggapan ayah itu terhadap kembalinya anak tersebut mengajarkan beberapa kebenaran penting (15: 20):
- Allah mempunyai belas kasihan bagi yang hilang oleh karena keadaan mereka yang menyedihkan.
- Kasih Allah bagi mereka begitu besar sehingga Ia tidak putus-putusnya bersedih hati atas mereka dan menunggu mereka kembali kepada-Nya.
- Ketika orang berdosa dengan tulus hati kembali kepada Allah, maka Allah pun sudah siap untuk menerima mereka dengan pengampunan, kasih, belas kasihan, kasih karunia dan mengaruniakan hak penuh sebagai anak yang sah. Berbagai manfaat kematian Kristus, pengaruh Roh Kudus, dan kekayaan kasih karunia Allah, semuanya tersedia bagi mereka yang mencari Allah.
- Tak terhinggalah sukacita Allah atas kembalinya orang berdosa.
Tembok dinding aling-aling bagian luar, di atas kolam air terdapat ukiran Logo GKPB. Menurut Nyoman Darsane yang menciptakan Logo ini menjelaskan, bahwa bentuk Logo GKPB yang diukir di Jemaat Kristus Kasih inilah yang memiliki bentuk seperti gambar dari penciptanya.
Penjelasan Simbol GKPB
(oleh : I Nyoman Darsane)
Lingkaran yang paling luar, yang bentuknya agak oval (seperti telur) menyimbolkan bahwa ada kehidupan di dalamnya. Di dalam Bahasa Bali dikenal istilah “manik” yang bisa diidentifikasikan sebagai jiwa dari kehidupan.
Salib Bengkok (Salib Menari). Ini menyimbolkan kebangkitan Kristus dari kematianNya. Oleh kebangkitan Yesus maut sudah kehilangan sengatnya. Seandainya Yesus tidak bangkit dari kematianNya maka iman kita kepadaNya tidak berarti.
Sepuluh Lingkaran Kecil (lima di sebelah kanan atas dan lima di sebelah kiri atas): Salib adalah symbol dari Sepuluh Perintah Tuhan di Perjanjian Lama yang kemudian digenapi dengan kematian dan kebangkitan Yesus di kayu salib.
Langit merah berdarah adalah symbol dari darah Kristus yang sudah dipersatukan dengan kehidupan mereka yang mau bertobat.
Perahu dengan kepala ikan identik dengan perahu masyarakat Bali, yang bisa dijumpai dari Sanur sampai bagian Barat Pulau Bali. Ini menyimbolkan perahu kehidupan yang diberkati yang berlayar di samudra kehidupan yang tidak bertepi. Tepinya adalah dunia harapan baru. Perahu itu dinahkodai oleh Yesus Kristus yang hidup yang disimbolkan dengan salib menari.
Laut yang biru melambangkan samudra perdamaian.
Teratai dan burung-burung jantan dan betina menggambarkan perumpamaan Yesus tentang kekhawatiran, “Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kami jauh melebihi burung-burung itu?” (Mat. 6 : 25 – 26)
Kesimpulan: Di dalam tubuh GKPB ada jiwa dari jemaat yang berlayar dan dinahkodai oleh Yesus untuk mengarungi samudra kehidupan menuju dunia yang belum diketahui, dunia baru, dunia yang penuh damai sejahtera, dunia yang sangat indah dimana tidak ada kekhawatiran dan keraguan.