Menghadapi Trauma

Pada bulan-bulan Juni 2006-Juni 2007 adik saya, yang bekerja di Badan Pertanahan Nasional (BPN), mendapat tugas khusus di Aceh. Tugasnya mengembalikan batas tanah milik warga yang terkena tsunami. Saat itu trauma akan tsunami masih kuat: air yang tiba-tiba datang menghantam rumah penduduk, menggulung dan memutarbalikkan kehidupan dalam sekejap.

Trauma bercokol di benak seseorang karena peristiwa tragis yang terus dikenang. Tak ada seorang pun yang pernah mengundang kemalangan, bencana, atau musibah hadir dalam hidupnya-tapi dari situlah trauma berasal. Trauma seperti mimpi buruk: tak diduga datang, tapi terus membayangi kita.

Setelah bangsa Israel dibuang, nabi Yeremia mengenang kejayaan masa lalu bangsa itu. Bila kita membaca kitab Yeremia dari awal hingga akhir, kita pun akan tahu, bahwa Yeremia dilanda ketakutan dan sering meratap. Namun, di balik ketakutan dan kengerian yang ia tuliskan, ia percaya adanya hari depan yang baik bagi Israel-“Sesungguhnya, waktunya akan datang, demikianlah firman TUHAN, bahwa kota itu akan dibangun kembali bagi TUHAN…” (ay. 38).

Kehidupan terus bergulir. Seseorang yang merasakan trauma saat mengenang masa lalunya, bisa bangkit dan merasakan sukacita saat memandang masa depannya. Keadaan kita hari ini adalah proyeksi dari masa lalu kita; dan keadaan hari depan semestinya merupakan proyeksi dari hari ini, bukan melulu masa lalu. Berbeda bukan, bila hari ini kita memercayakan hidup kita pada janji dan penyertaan Tuhan? –SN/www.renunganharian.net

MASA DEPAN YANG GEMILANG SUNGGUH ADA. KITA PERLU MENATA HATI
SAAT INI DENGAN MENGAMPUNI DAN MELUPAKAN MASA LALU.